Rabu, 27 Juli 2011
Angka-angka Hoki
Oleh: Djulianto Susantio
Perhelatan cabang olahraga multievent terbesar di dunia, Olimpiade Beijing, dibuka dengan resmi pada 8 Agustus 2008 pukul 8 malam. Bahkan ditambah embel-embel lebih 8 menit dan 8 detik. Tentu bukanlah tanpa alasan jika panitia memilih waktu tersebut yang kalau “diterjemahkan” menjadi 08-08-08 pukul 08:08:08. Jelas sekali, sederetan angka 8 terdapat di dalamnya.
Sejak lama memang masyarakat Tiongkok percaya bahwa 8 adalah angka hoki yang paling super. Karena itulah tentunya panitia mengharapkan keberuntungan yang super besar dari penyelenggaraan olimpiade kali ini. Merebut medali emas dan meraih laba finansial sebanyak-banyaknya, mungkin merupakan harapan yang paling ditunggu-tunggu. Dan ternyata memang benar, kontingen Tiongkok untuk pertama kalinya menjadi yang paling hebat sejagat raya. Selain merebut medali emas terbanyak, kontingen Tiongkok juga mengalahkan dua langganan jawara Olimpiade, yakni AS dan Rusia.
Di Tiongkok dan juga Taiwan, Hongkong, Singapura, serta negara yang memiliki etnis Tionghoa banyak, pemakaian angka 8 memang sangat populer. Konon dalam dialek Kanton, penyebutan angka 8 seperti phat yang bermakna “pertumbuhan yang makmur” atau kekayaan. Siapa sih orang yang tidak mau kaya?
Sering kali angka 8 digunakan untuk nomor mobil, nomor rekening bank, nomor kartu kredit, nomor rumah, nomor telepon, dan nomor-nomor lain yang dipandang penting buat pemiliknya. Untuk memperoleh “tuah”, biasanya angka 8 harus ada pada bagian akhir. Sangat baik bila berupa angka tunggal. Jika angka itu diawali dengan 6, 7, 8, dan 9, maka keberuntungan dianggap ganda.
Karena dianggap angka yang sangat menguntungkan, maka segelintir masyarakat Tionghoa berani membayar tinggi untuk memperoleh angka itu. Tahun 2002 lalu, misalnya, seorang taipan Hongkong pernah harus mengeluarkan jutaan dollar demi mendapatkan angka keramat itu untuk plat nomor mobilnya. Jelas, betapa angka 8 dianggap sebagai angka yang benar-benar keramat.
Tak urung, apartemen tingkat delapan ikut memperoleh dampaknya. Begitu pula ruang perkantoran atau fasilitas properti lainnya. Jangan heran kalau sejumlah pengembang sengaja memasang tarif lebih tinggi untuk hal-hal yang “berbau” 8.
Sulit dijelaskan secara ilmiah mengapa masyarakat Tionghoa sungguh percaya kepada angka 8. Mungkin karena alasan kepercayaan nenek moyang, tapi mungkin juga ada alasan psikologisnya.
Secara sadar atau tidak sadar, memang orang selalu berusaha mencari sesuatu agar memperoleh “nilai lebih”. Nilai tersebut mereka representasikan dalam angka. Alasan pemilihan angka 8 bisa digambarkan demikian.
Pertama, masyarakat Tionghoa selalu menghindari tiga angka di ujung. Karena itu dari sepuluh bilangan pertama (1 hingga 10), mereka meninggalkan angka 1, 2, dan 3. Jadi angka yang tersisa adalah 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10.
Kedua, mereka juga menghindari angka ganjil karena dianggap angka sial. Dengan demikian yang tersisa adalah angka-angka genap 4, 6, 8, dan 10.
Ketiga, dari keempat angka itu yang dianggap paling bagus adalah angka 4 dan 8 karena merupakan kelipatan 2. Tentu kita tahu dalam matematika 4 adalah 2 pangkat 2 dan 8 adalah 2 pangkat 3.
Keempat, dari kedua angka itu yang lebih dekat ke tengah (dari 4 hingga 10) adalah 8. Maka 8 terus dianggap sebagai angka favorit hingga kini (Tong Sing, 2001).
Selain itu, menurut kalangan Tionghoa lainnya, angka 8 memiliki guratan garis yang tidak terputus. Ini dianggap merupakan simbolisasi rezeki yang sambung-menyambung tiada hentinya.
Angka 8 juga dipuja karena mewakili delapan dewa penjaga arah mata angin. Memang kenyataannya sampai sekarang masyarakat di segala penjuru dunia menggunakan delapan arah mata angin utama, yakni Utara, Barat Daya, Timur, Tenggara, Selatan, Timur Laut, Barat, dan Barat Laut. Sementara menurut numerologi Lo-shu dalam feng shui, 8 adalah angka kaya yang berarti kemakmuran di masa yang akan datang. Apalagi secara teori feng shui, tahun 2004 hingga 2023 termasuk dalam periode 8. Jadi kloplah kalau Olimpiade Beijing memiliki angka serba 8.
Sampai sekarang mitos angka 8 masih tetap populer. Coba saja Anda berbelanja di pasar swalayan, superstore, atau hypermall di negara-negara yang mayoritas warganya adalah etnis Tionghoa, maka harga-harga yang tertera selalu berakhiran angka 8, misalnya S$26,88 atau H$68,88. Pokoknya ada atau tidaknya uang kembalian, yang penting ada angka 8-nya.
Kita pun ikut-ikutan. Buktinya ada Densus 88 dan Restoran Chinese Food berlabel 68. Jangan heran, banyak warga masyarakat di negara kita—dan juga belahan bumi lain—yang memesan tanggal 8-8-8 sebagai hari akad nikah dan kelahiran putra-putri mereka. Terlebih saat itu jatuh pada hari Jumat yang dianggap hari baik. Menurut berita-berita di media cetak dan media elektronik, rumah bersalin, kantor urusan agama, dan catatan sipil pada 8-8-8 itu kebanjiran peminat. Jauh lebih banyak dari hari-hari biasanya.
Angka 9
Angka lain yang dipandang membawa hoki adalah 9. Kepercayaan akan tuah angka 9 banyak dianut masyarakat Indonesia. Coba saja perhatikan label-label harga pada pasar swalayan, perkulakan, dan sejenisnya. Boleh dikatakan, mereka tidak pernah memasang harga bulat, misalnya Rp 100.000. Agar terkesan murah, justru mereka mencantumkannya dengan Rp 99.900. Yang lebih istimewa, banyak pula yang melabeli barang dengan Rp 99.990. Deretan angka 9 seperti inilah yang dianggap membawa hoki.
Logikanya, dengan membayar Rp 100.000, si pembeli tidak mungkin meminta uang kembalian Rp 100 atau Rp 10. Bila diakumulasi selama setahun, misalnya, maka jumlah “tabungan” si penjual menjadi banyak. Ini tentu berkat hoki angka 9 itu.
Dalam astrologi Tiongkok, angka 9 yang merupakan angka tertinggi dari bilangan asli juga dianggap mewakili kemakmuran yang terus berlangsung sampai ke masa yang akan datang. Angka 9 juga menyimbolkan kesempurnaan langit dan bumi. Ini karena angka berapa pun yang dikalikan dengan 9, hasil akhirnya (jika dijadikan satu digit) tetap 9.
Perhatikan saja bilangan berikut: 6 x 9 = 54 (5 + 4 = 9) atau 127 x 9 = 1143 (1 + 1 + 4 + 3 = 9). Begitu pun sederetan angka yang banyak: 354.276 x 9 = 3.188.484 (3 + 1 + 8 + 8 + 4 + 4 = 36, lalu 3 + 6 = 9).
Dalam dialek Hokkian, 9 disebut kau. Bunyi kau mirip kao dalam bahasa Mandarin yang berarti “tinggi”. Dengan demikian orang mengharapkan rezeki tinggi dari angka ini. Di negara kita, angka 9 dianggap keramat oleh masyarakat Bali dan Islam. Ini tergambar dari adanya istilah nawahsanga, yaitu 8 dewa penjuru mata angin ditambah 1 dewa di pusat serta walisanga atau wali sembilan.
Angka 9 pun selalu dikaitkan dengan lubang kehidupan yang ada pada tubuh manusia, yakni mata (ada 2), telinga (2), lubang hidung (2), mulut (1), dubur (1), dan alat kelamin (1).
Angka hoki berikutnya adalah 7. Banyak pihak menghubungkan angka 7 dengan angka Tuhan karena jumlah hari ada 7. Konon, di akhirat ada langit lapis ke-7 dan pasti kita tahu kalau seluruh warna pelangi berjumlah 7.
Kepopuleran angka 7 semakin menjadi-jadi ketika orang yang sedang sakit kepala hampir selalu bilang, “gua lagi pusing 7 keliling” atau rayuan gombal yang mengatakan “demi cintaku, 7 lautan akan kuseberangi dan 7 gunung akan kudaki”. Ingat vitamin penambah tenaga, bukan? Namanya seven seas (7 lautan) atau orang kita sering menyebutnya minyak ikan.
Keunikan lain adalah bila dibentuk pecahan, maka unsur-unsur yang ada tetap sama. Coba simak pecahan-pecahan berikut:
* 1/7 = 0,142857
* 2/7 = 0,285714
* 3/7 = 0,428571
* 4/7 = 0,571428
* 5/7 = 0,714285
* 6/7 = 0,857142
Unsur-unsur yang sama tersebut adalah 1, 2, 4, 5, 7, dan 8. Uniknya lagi kalau angka-angka itu dijumlahkan, hasilnya adalah 27 (2 + 7 = 9).
Karena dianggap bertuah, maka angka 7 sering dipakai untuk semboyan atau slogan, seperti Sapta Prasetya Korpri, Sapta Pesona, atau Sapta Marga (Sapta = 7). Nah, percayakah Anda kepada angka-angka hoki 7, 8, dan 9 itu?
Angka 0
Bila guru matematika mengajukan pertanyaan begini, “Ibu memiliki 3 buah kue. Diberikan kepada adik 1 buah, lalu kepada kakak 2 buah. Berapa sisa kue ibu?” Pasti murid-murid menjawab, “Sisa kue ibu adalah 3 buah – 1 buah – 2 buah = 0 buah”.
Dari sini kita tahu apa arti bilangan 0. Dengan kata lain, bilangan 0 menyatakan “tidak ada”. Begitu pula, kalau nilai seorang murid adalah 0. Berarti dia tidak mendapat nilai apa-apa alias jeblok, kan?
Dalam matematika, bilangan 0 ternyata memiliki banyak makna. Bisa dilihat demikian, seberapa pun banyaknya bilangan 0, bila dijumlahkan hasilnya tetap 0. Ini contohnya: 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 = 0. Selain itu, bila bilangan 0 dibagi dengan bilangan berapa pun, hasil akhirnya juga tetap 0, misalnya 0 : 1, 0 : 10, 0 : 100, dst. Sama halnya dengan bilangan berapa pun yang dikalikan 0, hasilnya ya tetap 0. Coba saja hitung: (21 x 52) + (1392 + 2134) – (3000 : 12) x 0. Berapa hasilnya? Tanpa susah payah menghitung, pasti kita akan menjawab 0.
Namun rupanya ada sedikit kekecualian, bilangan berapa pun yang dibagi 0, hasilnya bukan 0 tetapi tak terhingga. Hal ini sudah menjadi patokan dalam matematika. Jelas, bilangan 0 mempunyai pengaruh sangat besar, bukan sekadar “tidak ada”.
Buat murid SD, memang bilangan 0 berarti “tidak ada”. Tapi bagi murid SMP, bilangan 0 bisa berarti “permulaan”. Contohnya dalam garis bilangan. Di sebelah kanan bilangan 0, garis bilangan berunsur positif (plus), misalnya 1, 2, 3, dst (tanda + tidak perlu ditulis). Sebaliknya, di sebelah kiri bilangan 0, bermakna negatif (minus), misalnya -1, -2, -3, dst.
Di dalam penghitungan matematika, bilangan 0 memang memainkan peranan sangat penting. Begitu juga di dalam komputer elektronik, fungsi 0 lebih besar lagi. Ini mengingat komputer elektronik menggunakan sistem biner atau sistem bilangan dengan dasar dua. Artinya, sistem ini hanya menggunakan dua angka, yakni 0 dan 1. Seluruh angkanya terbentuk dari kedua bilangan dasar itu.
Di dalam sistem ini, bilangan 100 dalam sistem desimal, harus ditulis 1100100. Memang terlalu rumit, tapi cara pencatatan bilangan sistem biner sangat berguna karena komputer elektronik tidak mempunyai tangan dan 10 jari. Dia hanya bisa mengenal dua macam keadaan, yaitu “berlistrik” (1) dan “tidak berlistrik” (0).
Namun, di dalam ilmu-ilmu lain, bilangan 0 bukan berarti “tidak ada”. Jika dikatakan suhunya adalah 0 derajat Celcius, tentu bukan berarti tidak ada suhunya. Dalam hal ini bilangan 0 menunjukkan titik beku es.
Uniknya, angka 0 tidak ditemukan dalam angka Romawi, berbeda dengan angka Arab seperti yang kita kenal sekarang, yakni dari 0 hingga 9. Angka Romawi hanya berjumlah 7 buah, yaitu I (mewakili 1), V (5), X (10), L (50), C (100), D (500), dan M (1000).
Pada abad ke-5, Sri Paus Romawi yang sangat konservatif menganggap angka Romawi sudah cukup untuk mencatat segala bilangan. Maka beliau melarang semua orang menggunakan angka 0.
DJULIANTO SUSANTIO
Pemerhati Seni Oriental, tinggal di Jakarta